Banyak pemikir
yang menyebutkan bahwa dalam pemikiran Syiah setelah kegaiban Imam Mahdi af,
Ibnu Junaid adalah seorang faqih pertama yang mempergunakan akal secara luas
dalam proses penyimpulan hukumnya. Hal itu membuat ia dituduh mempergunakan
qiyas. Dalam pembelaannya, ia menulis buku yang berjudul Kasyf at-Tanbih
(sebagian menulis Tanwiyah) wa al-Ilbas Ala Aghmar as-Syiah fi Amr al-Qiyas.
Buku ini yang membuat Ayatullah Sistani menjelaskan apa yang dimaksud dengan
qiyas yang dipakai oleh Ibnu Junaid. Bahkan tidak jelas, apakah Ibnu Junaid
meyakini Qiyas Aulawiyat dan Manshus al-Illah ataukah qiyas yang dipakai oleh
Ahli Sunah. Yang menjadi masalah adalah buku-buku Ibnu Junaid dalam perjalanan
sejarah tidak ada tersisa untuk dikaji apakah dalam kajian akal yang dimaksud
adalah sumber ataukah alat.
Melihat hal itu,
sulit untuk meyakini bahwa akal yang dipakai adalah akal sebagai sumber.
Terlebih lagi dengan melihat bahwa Syaikh Mufid sebagai muridnya, ternyata akal
yang ditekankannya bukan akal sebagai sumber tetapi sebagai alat. Dalam buku
“Silsilah Muallafat as-Syaikh al-Mufid, jilid 9, at-Tadzkirah fi Ilmi al-Ushul,
hal 28” Syaikh Mufid menyebutkan:
“Ketahuilah!
Prinsip-prinsip hukum syariat ada tiga; al-Quran, Sunah dan ucapan para Imam.
Cara-cara yang dapat dipakai untuk sampai ke tiga sumber itu salah satunya
adalah akal. Akal dapat mengenal hujjiyah al-Quran dan makna hadis-hadis”.
Syaikh Mufid (W.
413) sekalipun menekankan akal, namun tidak sampai meletakkannya sebagai sumber
hukum sebanding dengan al-Quran dan Sunah. Akal menurut Syaikh Mufid sebagai
penyingkap.
Sayyid Murtadha
(W. 436) merupakan ulama pertama yang mendudukan akal sebagai salah satu sumber
hukum. Bedanya, ia meletakkan akal setelah al-Quran, Sunah dan Ijma’. Akal
tidak setara dengan tiga sumber di atas. Akal menjadi sumber ketika tidak
ditemukan dalil dari ketiga sumber di atas. Dalam buku “Rasai as-Syarif
al-Murtadha, jilid 1, hal 318” Sayyid Murtadha menulis: “Bila kita
mengasumsikan bahwa sebuah masalah baru tidak ditemukan dalam dalil-dalil
sebelumnya (Al-Quran, Sunah dan Ijma’), kaka untuk menyelesaikan masalah ini
perlu merujuk pada hukum akal. Pada dasarnya, dalam masalah ini, hukum ilahi
adalah ini”.
Syaikh Thusi (W.
460) dalam bukunya Iddah al-Ushul, tidak membahas secara terpisah, dalam 12 bab
bukunya, masalah akal, namun tidak berarti tidak membicarakannya sama sekali.
Syaikh Thusi menganggap akal memiliki posisi yang agung, namun dalam bukunya
akal tidak sebagai sumber, melainkan sebagai alat. Dalam Iddah al-Ushul lebih
sering ditemui pembahasan yang perlu tolok ukur. Ia mengatakan bahwa tolok
ukurnya adalah akal. Sama seperti Sayyid Murtadha, ia juga mengakui akal
sebagai sumber hukum, tapi setelah tidak ditemukannya dalil dari al-Quran,
Sunah dan Ijma’.
Dalam Iddah
al-Ushul, jilid 2, hal 434 ia menyebutkan: “Dan kapan saja terjadi sebuah
peristiwa yang hukumnya belum dijelaskan, maka itu menunjukkan bahwa masalah
itu dihukumi oleh akal”. Syaikh Thusi memberikan alasan “Bila peristiwa itu
punya hukum syariat, maka pasti masalah itu telah dijelaskan atau
diisyaratkan”.
Melihat pada awal
munculnya kajian akal dalam fiqih Syiah, akal tidak diletakkan sama rata dengan
al-Quran, Sunah dan Ijma’. Akal dijadikan sumber ketika ketiga sumber tersebut
tidak punya penjelasan atas hukum sebuah masalah.
Dapat dikatakan
bahwa untuk pertama kalinya Ibnu Idris (W. 598) meletakkan akal sejajar dengan
ketiga sumber hukum yang lain. Sekalipun ibnu Idris dalam buku as-Sarair tidak
menjelaskan secara terperinci masalah ini, namun ini dapat dianggap sebagai
sebuah permulaan yang baik. Dalam as-Sarair, jilid 1, hal 46, 222, 330, 377 dan
jilid 2, hal 116, Ibnu Idris menuliskan: “Kebenaran tidak akan keluar dari
empat hal; al-Quran, Sunah Nabi yang mutawatir dan disepakati, Ijma’ dan akal”.
Bila kita cukupkan
penelitian kita di sini, memang terlihat bahwa Ibnu Idris menyejajarkan akal
dengan dalil yang lain. Namun bila kita teruskan pembacaan kita ia menulis:
“Bila ketiga dalil (al-Quran, Sunah dan Ijma’, -pen) tidak ditemukan, maka yang
dijadikan rujukan oleh peneliti dalam sumber syariat adalah berpegangan dengan
dalil akal dalam masalah itu”. Ini menunjukkan bahwa keyakinan Ibnu Idris juga
belum sampai pada tahapan meletakkan akal sejajar dengan ketiga dalil lainnya!
Muhaqqiq al-Hilli
(W. 676) merupakan ulama Syiah yang pertama kalinya membahas masalah dalil akal
dengan luas dalam bab tersendiri. Dalam bukunya al-Mu’tabar ia membagi
pembahasan dalil akal menjadi dua bagian; pertama Mustaqillat Aqliyah seperti
kajian baiknya keadilan dan buruknya kezaliman. Kedua, Mustaqillat Ghair
Aqliyah. Berbeda dengan penjelasan Mustaqillat Ghair Aqliyat yang dibahas saat
ini dalam ilmu Usul Fiqh, Muhaqqiq Hilli membahasnya terbatas pada bab alfadh
dan pengertian sebuah kata atau kalimat.
Sekali lagi, bila
merujuk pada buku al-Mu’tabarnya, tidak ada penjelasan secara khusus mengenai
akal sebagai sumber hukum.
Muhammad bin Makki
Syamsuddin yang dikenal sebagai Syahid awal (W. 786) dalam pendahuluan buku
Dzikr as-Syiah miliknya meneruskan pembahasan masalah akal yang ditulis oleh
Muhaqqiq Hilli. Bedanya, Syahid awal hanya menambahkan dan mengubah tempat
pembahasan saja. Sebagai contoh ia menambahkan masalah mukadimah wajib dan
beberapa masalah lainnya ke dalam pembahasan Mutaqillat Aqliyah.
Fadhil Tuni (W.
1071) adalah ulama Syiah pertama yang membahas masalah akal secara terperinci.
Ia dalam bukunya al-Wafiyah membagi akal dalam 7 pembahasan. Dengan
ketelitiannya ia mampu membagi pembahasan Muataqillat Aqliyah dan Ghair
Aqliyah. Setelah berhasil membagi dengan baik, ia menjelaskan dengan baik
penggunaan akal dalam menyimpulkan hukum syariat. Bahkan dapat dikatakan bahwa
setelah Fadhil Tuni, pembahasan akal menjadi jelas.
Hal ini dapat
dimaklumi karena Fadhil Tuni hidup di zaman keemasan Akhbariyun. Ia terpaksa
harus menjelaskan akal sebagai sumber hukum dengan baik. Karena Akhbariyun
tidak menerima akal sebagai sumber hukum sejajar dengan al-Quran dan Sunah.
Ketidaksetujuan mereka muncul dari kerancuan yang ditemukan dalam ucapan ulama
Syiah sebelumnya. Dengan melihat kenyataan itu, Fadhil Tuni menyusun pembahasan
akal dengan baik dan patut mendapat pujian untuk usahanya. Buku al-Wafiyah
menyingkap kerancuan mengenai masalah akal yang selama ini dipahami oleh
Ahkbariyun.
Setelah Fadhil
Tuni menulis buku al-Wafiyah menjelaskan secara terperinci mengenai akal,
pembahasan masalah akal dalam karya-karya ulama setelahnya tidak mengalami
perkembangan, secara kualitas dan kuantitas, yang semestinya. Hal ini dapat
dilihat bagaimana ulama Syiah seperti Mirza Qummi tidak banyak menjelaskan
masalah ini. Syaih Anshari, Akhund Khurasani dalam bukunya tidak memberikan
kajian tersendiri mengenai akal, tapi dibahas sebagai pengantar dalam kajian
lafad. Syaikh Muhammad Husein Isfahani punya pembahasan yang bagus mengenai
masalah akal.
Buku terbaik yang
membahas masalah akal adalah buku Ushul al-Fiqh yang ditulis oleh Muhammad
Ridha Muzhaffar. Setelah buku Ushul Fiqh Muzhaffar, buku terbaik yang
menjelaskan masalah ini adalah tulisan Syahid Shadr dalam bukunya Halaqat
al-Ushul. Perbedaannya, buku Syahid Shadr memiliki kelebihan dalam ketelitian
dan kedalaman pembahasan Ghair Mustaqillat Aqliyah. Sementara kelebihan buku
Ushul Fiqh Syaikh Muzhaffar detil masalah yang dikaji dalam Mustaqillat
Aqliyah.
Sumber:
1. Ensiklopedia
ahli-ahli Ushul Fiqh Syiah (Danesh Nameh Ushuliyan Syiah, Muhammad Reza Zamiri,
Qom, 1384 HS).
2. Fiqih dan akal
(Fiqh va Aql, Abul Qasim Ali Dust, Teheran, 1383 HS).
3. Pengantar ilmu
fiqih (Madkhal Ilm Fiqh, Reza Islami, Qom, 1384 HS).
4. Posisi akal
dalam menyimpulkan hukum (Jaigah Aql Dar Estenbat Ahkam, Said Qammashi, Qom,
1384 HS).
5. Pengantar
sejarah ilmu Ushul Fiqih (Dar Amadi Beh Tarikh Ilm Ushul, Muhammad ali Pour,
Qom, 1382 HS).
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !